WAHANA KREASI PEMUDA HINDU SUMATERA SELATAN

Minggu, 28 September 2008

Pasrah bukan Kemalasan



BANYAK orang yang dalam menjalani hidup ini menyebutkan diri pasrah saja pada kehendak takdir. Sikap hidup seperti itu tentunya tidaklah salah. Yang penting bagaimana sikap pasrah itu dipahami secara benar dan tepat. Ada orang yang dalam berbagai kegiatan hidupnya banyak mendapatkan berbagai halangan bahkan kegagalan.

Mereka pun putus asa, apatis dan pasif dalam keseharian hidupnya. Setelah itu mereka semakin apatis dan menyatakan diri pasrah kepada kehendak takdir, lalu tidak berbuat apa lagi, bahkan menyalahkan Tuhan tidak adil.

Swami Satya Narayana menyatakan pasrah itu bukanlah kemalasan. Pasrah itu adalah kerja. Kerja itu adalah Jnyana, Karma dan Bhakti. Artinya belajar, berbuat dan berbhakti pada Tuhan, itulah yang seharusnya selalu diusahakan. Kembangkanlah sikap Dhyayana. Artinya terus memotivasi keinginan untuk belajar mencari ilmu agar dapat menyelenggarakan hidup ini dengan sebaik-baiknya berdasarkan kebenaran. Wujudkanlah hasil pengetahuan itu dalam kerja yang baik dan perbuatan yang benar.

Kalau kita sudah bekerja dan berbuat berdasarkan ilmu atau jnyana sebaik mungkin selanjutnya serahkanlah pada kehendak Tuhan kapan usaha itu mendapatkan pahalanya. Yakinkanlah diri seyakin-yakinnya bahwa setiap perbuatan baik dan benar pasti akan diberikan pahala yang baik dan benar juga oleh Tuhan. Tuhan tidak mungkin tidak adil dan kasih pada umat-Nya. Itulah sesungguhnya pasrah. Yang kita serahkan dengan penuh rasa bhakti pada Tuhan adalah upaya kita dalam melakukan Jnyana dan Karma. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa Jnyana, Karma dan Bhakti itu adalah tiga hal yang memang berbeda tetapi bukanlah tiga hal yang terpisah-pisah.

Kedudukan Jnyana, Karma dan Bhakti sangat simultan. Artinya saling menunjang dan saling menentukan. Jnyana tanpa Karma akan berputar-putar dalam teori saja. Berkarma tanpa Jnyana atau pengetahuan yang benar tentang apa yang dikerjakan maka kerjanya itu akan sulit dilakukan, tidak efisien bahkan bisa salah arah. Kerja yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar itulah kita serahkan pada Tuhan berdasarkan bhakti. Karena itulah pengertian pasrah menurut konsep agama Hindu bukanlah pasif dan statis, justru aktif giat berusaha untuk memperbaiki nasib individu dan nasib bersama dengan konsep Jnyana, Karma dan Bhakti yang simultan. Kalau perpaduan itu benar-benar terjadi dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan itulah jalan Raja Yoga.

Ajaran tattwa agama Hindu itu, agar mudah memahaminya di samping digunakan sarana tertulis dan lisan juga disampaikan lewat simbol-simbol upacara yang sakral.

Simbol-simbol itu dibuat dari bunga, daun dan buah yang dirangkai dengan indah berdasarkan konsepsi tattwa yang dalam. Bunga menurut lontar Yadnya Prakerti lambang pikiran yang tulus dan suci. Daun-daunan yang dijadikan hiasan simbol banten itu lambang pengejawantahan pikiran yang suci. Daun-daunan yang diukir atau diringgit dinyatakan sebagai lambang kelanggengan pikiran melakukan yadnya. Sedangkan buah-buahan baik yang sudah diolah maupun yang masih segar dan utuh dijadikan perlengkapan upacara disebut sebagai rakan banten, lambang widyahara-widyadhari. Widyadhara dalam bahasa Sansekerta artinya mereka yang memangku atau merangkul ilmu pengetahuan.

Simbol-simbol banten atau sesaji itu hendaknya tidak berhenti pada simbolnya saja. Ia harus diwujudkan lebih nyata dengan mengembangkan pikiran yang cerah serta mengembangkannya menjadi konsep-konsep yang lebih aktual, bisa dilakukan dalam menyelenggarakan hidup ini sebaik mungkin.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda